Tokoh Sri dan Kritik Sosial dalam Naskah Drama “Orang-Orang di Tikungan Jalan” Karya W.S. Rendra


W.S. Rendra

Oleh: Rezki Wening Hayuningtyas

Pendahuluan

Istilah “drama” atau “teater” berasal dari bahasa Yunani. Pengertian keduanya berasal dari upacara pemujaan dewa. Drama merupakan kejadian, risalah, dan karangan. Teater berasal dari istilah théátron yang diturunkan dari kata theáomai, dengan arti takjub melihat atau memandang (Oemarjati, 1969:14). Drama merupakan hasil karya imajinasi yang turut menjadi bagian dari teks sastra.

Nama W.S. Rendra sudah sangat masyhur dalam dunia sastra. Karya-karyanya banyak yang menghiasi khazanah sastra Indonesia. Selain puisi-puisi ciptaannya, Rendra juga memiliki karya sastra lain dalam bentuk naskah drama. Salah satu naskah drama karya Rendra yang populer adalah “Orang-Orang di Tikungan Jalan”.

Naskah drama ini cukup sederhana, namun didalamnya termuat kritik sosial seputar stigma masyarakat tentang pelacur ataupun pekerja seks komersial (PSK). Diceritakan dalam naskah ini pertemuan seorang pemuda bernama Djoko dengan seorang pelacur bernama Sri. Pertemuan tersebut menjadi awalan bagi Sri menceritakan sisi lain dari dunia seorang pelacur. Cerita ini menyikap berbagai kisah kelam dan nasib yang menyedihkan dari para pelacur. Pertemuan antar tokoh dalam cerita ini membuka kisah-kisah tersebut.

Tokoh Sri dan Kritik Sosial

Hidup sebagai pelacur nyatanya juga bisa menjadi hal yang dibenci oleh pelacur itu sendiri. Hal tersebut juga yang dirasakan oleh Sri. Ia merasa bahwa dirinya adalah wanita lapisan bawah yang tidak bisa ke atas lagi. Ia juga sering merasa iri dengan wanita yang mempunyai kesempatan bertata susila. Sri juga menceritakan kisah kelam dan nasib para pelacur lainnya. Seperti halnya pada nasib Iyeng yang masih menjadi pelacur di usia tuanya dan kerap mendapatkan perilaku yang tidak mengenakkan dari kliennya. Kemudian nasib kawannya yang bernama Netty yang ingin kembali ke jalan yang benar, namun tetap mendapatkan penolakan dan stigma negatif sebagai pelacur dari masyarakat. Ini menjadi bukti bahwa untuk keluar dari dunia tersebut dan diterima kembali dengan baik oleh masyarakat bukanlah perkara yang mudah bagi pelacur.

Memang kita tidak bisa mengatur apa saja yang ada dalam pikiran seseorang, termasuk bagaimana cara seseorang tersebut menilai orang lain. Kebanyakan memang masih menilai seseorang dari masa lalunya, tanpa melihat bagaimana diri seseorang tersebut di masa sekarang. Padahal sejatinya manusia itu terus bertumbuh. Dan perubahan sedikit banyaknya juga pasti akan selalu ada.

Manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Semasa hidupnya mereka pasti pernah berbuat salah. Akan tetapi, kembali lagi, memang benar kata peribahasa:

“Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak.”

Terasa lebih mudah bagi kita untuk melihat kesalahan orang lain, akan tetapi sangat sulit melihat kesalahan pada diri sendiri. Hal itu juga yang membuat seseorang terkadang merasa dirinya lebih baik dan akan menghakimi orang lain yang berbuat salah tanpa memandang kebaikan dalam diri orang tersebut.

Namun, di sisi lain, ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Tindakan apa pun yang kita lakukan pastinya memiliki konsekuensi masing-masing. Keberanian untuk melakukannya menjadi tanda bahwa kita harus siap dengan konsekuensinya. Menjadi baik ataupun buruk adalah pilihan. Setiap manusia memiliki hak dan kebebasan untuk memilihnya. Tetapi, perlu diingat, bertanggung jawablah dengan pilihanmu.

 

Referensi:

Oemarjati, Dra. Boen Sri. 1996. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Rendra, W.S. Orang-Orang di Tikungan Jalan. Naskah Orang-Orang Ditikungan Jalan | PDF (scribd.com) diakses pada 27 Maret 2023.

 

Komentar