Karya : Rezki Wening Hayuningtyas
Keringat membasahi tubuh kurus ini. Debu jalanan dan polusi pabrik merupakan makanan sehari-hariku. Siang hingga sore waktuku untuk menjajakan rokok. Hanya dengan bermodalkan gerobak dan pakaian seadanya. Cita-citaku menjadi orang kaya. Mempunyai rumah yang besar, mobil, hingga tukang pijit pribadi. Untuk itu, pekerjaan apapun asal halal akan aku kerjakan.
***
Aku Sri, anak kedua dari lima bersaudara. Terlahir dari keluarga serba kekurangan. Sebenarnya, dulu ayahku adalah seorang juragan sapi. Namun seketika kekayaan itu hilang. Penyakit lelaki. Iya, karena wanita. Harta ayahku dihabiskan oleh wanita simpanannya. Ibuku sudah cukup kenyang melihat perbuatan ayah. Ingin rasanya segera berpisah, tetapi ibuku memilih untuk bertahan.
Semenjak itu, ayah mulai berdagang sayur di pasar. Dagangan itu tidak selalu habis setiap hari. Jika sisa sedikit, sayurnya akan dimasak oleh ibu. Jika sisa banyak, aku dan adikku menjajakan sayur tersebut ke tetangga-tetangga. Ada yang membeli dengan uang, ada juga yang barter dengan telur atau apapun itu yang sebanding dengan sayur yang diambil.
Aku tidak seberuntung seperti anak-anak lainnya yang bisa tamat sampai SMA. Aku hanya lulusan SMP. Di keluargaku hanya kakakku yang berkesempatan sekolah sampai SMA. Tapi setelah lulus, bukannya bekerja dan membantu perekonomian keluarga, ia malah kecantol pria hidung belang yang sudah memiliki istri. Kini ia hidup sebagai istri kedua pria itu. Semenjak menikah, ia tak pernah kembali. Kami juga tak tau di mana ia tinggal bersama suaminya. Ibu dan ayah juga sudah tidak peduli lagi dengannya. Sebab sebanyak apapun kata yang terucap, kakakku sama sekali tidak menggubris.
Lulus SMP, aku mencoba merantau ke kota. Di sana aku tinggal dengan tetanggaku yang kebetulan bekerja di kota tersebut. Ia bernama Yuk Mur. Ia memiliki toko ikan hias. Awalnya aku bekerja sebagai pegawai Yuk Mur, tetapi aku memilih untuk berdagang rokok di pinggir jalan. Gaji sebagai pegawai Yuk Mur tidak cukup untuk menghidupi aku dan keluargaku di kampung.
Saat berdagang rokok seringkali aku menemui hambatan-hambatan seperti ditagih preman, pedagang kaki lima yang utang rokok namun tak kunjung membayar, dan banyak lagi. Semenjak itu, aku merasa berdagang rokok pun masih belum cukup. Aku memutuskan untuk merantau ke kota lain.
Di kota perantauanku yang baru, aku mencoba bekerja apapun selagi halal. Mulai dari menjadi penjaga toko, pedagang batik, pedagang kosmetik, hingga pedagang jamu. Uang yang terkumpul lumayan banyak dan aku bisa menabung sedikit demi sedikit, sisanya aku kirimkan untuk biaya hidup keluargaku di kampung.
Uang tabunganku saat itu telah terkumpul banyak. Aku pun mencoba untuk membuka usahaku sendiri. Usaha kuliner. Kebetulan aku pandai memasak. Awal membuka usahaku, aku cukup pesimis karena lidah orang tentunya berbeda-beda. Tak disangka, para pelangganku sangat suka masakanku. Usahaku mulai berkembang hingga membuka beberapa cabang. Penghasilanku begitu besar jumlahnya. Namun aku tak pernah lupa untuk selalu menabung. Tabunganku kupakai untuk membeli tanah, membangun rumah, merenovasi rumah orang tuaku di kampung, hingga menyekolahkan adik-adikku hingga sarjana.
***
Aku bertemu seorang pria di perantauanku. Ia bernama Hakim. Seorang pria berpendidikan yang juga berasal dari keluarga berada. Ia bekerja di salah satu kantor swasta. Awal kisah ini dimulai ketika ia sering membeli makanan di warungku. Seringkali, ia bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, dan banyak lagi. Seiring berjalannya waktu, tumbuhlah cinta di hati kami.
Tak seperti pacaran remaja lainnya yang pergi ke bioskop untuk menonton film, kami lebih memilih untuk makan angkringan di pinggir jalan. Selain murah, rasanya tetap enak dan mengenyangkan. Mengingat sedang di perantauan, kami tidak ingin boros dalam mengeluarkan uang.
Delapan bulan kami bersama. Sore itu, Hakim datang dan meminta KTP milikku.
“untuk apa?” tanyaku kebingungan.
“rahasia” kata Hakim sembari meringis.
Rupanya Hakim telah merencanakan pernikahan kami. Kami pun akhirnya menikah. Melaksanakan akad nikah sederhana di rumah kontrakanku. Sebenarnya, kami tidak ingin melaksanakan resepsi, mengundang banyak orang, menanggap tari-tarian, namun rezeki tidak ke mana. Banyak dari teman-teman Hakim hingga keluarganya yang menyumbang untuk resepsi kami.
Akhirnya, resepsi pernikahan kami di gelar. Kami memilih untuk menggunakan adat jawa. Tetangga kontrakan kanan kiri kami undang. Resepsi kami meriah karena menanggap tari-tarian jawa sekaligus pertunjukkan wayang.
Di satu tahun pernikahan, kami dikaruniai seorang putri. Namanya Sang Dyah Pitaloka, panggilannya Pita. Terinspirasi dari nama putri dari kerajaan Sunda. Pita tumbuh menjadi anak yang cantik jelita. Ia juga seringkali menjadi juara kelas. Pita adalah anak semata wayang kami. Kami memutuskan untuk tidak menambah anak lagi.
***
Usahaku terus berkembang. Kekayaanku semakin melimpah. Aku pun membeli tanah di kampung dan membangun sebuah rumah yang megah. Namun, diusiaku yang semakin tua ini, aku menjadi mudah lelah. Awalnya aku mengira ini adalah rasa lelah yang sama seperti biasanya. Namun ternyata aku salah, aku terjatuh sakit. Semangat bekerjaku yang begitu berkobar membuat aku abai pada kesehatanku. Aku terlalu memaksakan diri.
Aku memutuskan untuk kembali ke kampungku. Memboyong keluargaku kembali ke tanah kelahiranku bahkan di saat usahaku sedang jaya-jayanya. Aku merasa tabunganku dan hasil usahaku sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidup kami di kampung. Dan aku percaya, semua orang memiliki rezeki di mana pun ia berada.
***
Di usiaku yang senja ini. Aku menikmati pemandangan sawah dan gunung yang indah di halaman rumahku. Sembari menyeruput teh dan mencicipi jajanan pasar yang kubeli dari pedagang keliling di desa. Suamiku telah pensiun. Kami beristirahat di masa tua kami bersama. Anakku telah menikah dengan seorang pengusaha dan menetap di kota.
Aku telah berhasil membeli sebuah mobil. Aku juga memiliki pembantu yang merawatku dan tukang pijit pribadi sesuai dengan keinginanku dulu. Kadang kala aku mengingat masa kecilku. Tak kusangka, gadis tamatan SMP ini mampu membuat cita-citanya menjadi kenyataan. Berkat kegigihan, kesabaran, dan doa kedua orang tua lah yang mengantarkanku pada kesuksesan menjadi orang kaya yang selama ini aku inginkan. Tiada yang tidak mungkin selagi ingin berusaha dan Tuhan menghendaki. Roda selalu berputar, yang di bawah tak selamanya di bawah, pun sebaliknya.
Komentar
Posting Komentar