Ambisi dan Sepi (Cerita Pendek)



Karya : Rezki Wening Hayuningtyas

Setiap pagi kubuka pintu jendela. Membiarkan udara yang sejuk masuk ke dalam tiap ruang rumahku. Kemudian kuambil kayu bakar di samping rumah untuk tungku tuaku. Sembari merebus air, aku duduk di depan tungku untuk sekadar menghangatkan badan. Kokok ayam bersahut-sahutan menyapa ayam lainnya. Sedangkan aku terdiam dalam perenungan seorang diri.

***

Aku adalah wanita tua. Seorang diri hidup di rumah sederhana ini. Suamiku telah lama pergi. Ia meninggal saat kami sedang bertengkar kala itu. Kematiannya menjadi hal yang sangat aku sesali hingga kini. Meskipun tingkahnya kerap buatku marah, tetapi ia adalah pria yang sangat kucintai. 

Ia memberiku seorang putri bernama Gayatri. Satu-satunya anak kami. Wajahnya sangat mirip dengan ayahnya. Hidungnya, matanya, bibirnya, selalu mengingatkanku dengan suamiku. Di masa kecilnya, aku tak bisa terus ada disamping Gayatri. Tuntutan pekerjaan mengharuskan aku untuk jauh darinya.

***

Aku sangat suka bekerja. Dari kecil aku memang sudah bekerja untuk membantu perekonomian keluargaku yang serba kekurangan. Aku anak pertama dari lima bersaudara. Aku menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahku jatuh sakit. Ibuku hanyalah seorang buruh tani. Penghasilan dari ibu saja tidak cukup untuk menghidupi ayah, ibu, dan juga adik-adikku.

Pertama kali bekerja aku menjadi seorang pegawai toko di kota yang jauh dari kampungku. Setiap bulan, kukirimkan gaji kepada keluarga di kampung. Memang tidak banyak uang yang kudapatkan. Tapi setidaknya, itu bisa mengurangi beban. Selain menjadi pegawai toko, aku juga pernah menjadi pedagang batik keliling.

Saat itu aku ingin memiliki usaha sendiri. Pilihanku adalah berdagang batik. Pertama kali aku menjajakan batikku secara keliling, dari rumah ke rumah. Di saat itulah aku bertemu dengan ayah Gayatri, suamiku. Kami berpacaran setahun setengah lamanya, kemudian kami menikah di kampung halamanku. Setelah melahirkan Gayatri, aku dan suamiku kembali ke kota untuk mencari nafkah. Kembali menjadi pedagang batik keliling.

***

Seiring berjalannya waktu, usahaku terus berkembang. Yang tadinya hanya berjualan keliling, sekarang memiliki toko batik sendiri. Pelanggan batikku sangat antusias dengan perkembangan daganganku. Tokoku sangat ramai karena barang yang kujual berharga murah namun kualitas tetap terjaga. 

Pundi-pundi uang pun semakin terkumpul banyak. Aku mampu membeli rumah, membiayai keluargaku dan anakku di kampung. Aku sangat senang perekonomianku kian membaik. Aku bisa menabung untuk masa tua dan juga untuk biaya sekolah anakku. Aku terus bekerja hingga aku lupa waktu. Aku mulai lupa kewajibanku sebagai seorang istri dan juga seorang ibu. 

        Suatu saat, suamiku mengeluh tentang ambisiku dalam bekerja. Ia memperingatkanku untuk tidak lupa pada kewajibanku. Namun karena egoku yang tinggi kala itu, aku mengabaikannya. Kami terlibat pertengkaran hebat. Suamiku memutuskan pergi dari rumah. Sedangkan aku diam dengan amarah yang menggebu di rumah seorang diri. 

        Satu jam setelahnya tetanggaku mengetuk pintu. Ia membopong suamiku dengan keadaan sudah tidak bernyawa. Aku menangis sejadi-jadinya. Penyesalan menghujam batinku. Ambisiku dalam bekerja membuatku abai pada sesuatu yang amat penting dalam hidupku.

***

Saat itu, aku pulang dari kota untuk istirahat sejenak setelah kepergian suamiku. Aku memergoki Gayatri menangis di kamarnya. Ia begitu terpukul dan kecewa. Belum sempat ia menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya. Namun takdir menuntut ayahnya untuk pergi jauh darinya. Semenjak itu ia sering mengurung diri di kamar.

        Gayatriku tumbuh dewasa. Ambisiku dalam bekerja membuatku abai padanya. Aku menyadari bahwa uang saja tidak cukup untuknya. Kasih sayang kedua orang tuanya amat ia rindukan. Kudengar dari kawannya, Gayatri sering menangis karena merindukan aku dan ayahnya. Tapi dia tetaplah Gayatriku yang sangat gengsi dan enggan menyampaikan perasaan itu padaku.

        Hanya aku dan Gayatri di rumah. Rumah itu tetap sepi dan dingin. Tidak ada obrolan antara kami. Gayatri menolak untuk berbicara padaku. Ia memilih langsung ke kamarnya setelah pulang sekolah daripada bertemu denganku. Aku sangat mengerti, ia pasti sangat kecewa padaku.

        Pagi itu aku bingung mengapa Gayatri tak kunjung berangkat sekolah. Lantas aku pergi ke kamarnya untuk memastikan. Saat kubuka pintu tubuhku lemas tak berdaya. Putriku telah meregang nyawa dengan pisau yang terhunus di perutnya. Air mataku terjatuh tiada henti. Dua orang terpenting dalam hidupku pergi meninggalkanku.

        Sejak saat itu aku berhenti bekerja di kota. Aku hidup di kampung dengan bekal tabunganku. Di rumah sederhana ini sebagai sebatang kara. Hari-hariku penuh dengan renungan rasa penyesalan dalam diri. Ambisiku telah membawaku dalam sepi seorang diri di masa tuaku.


Komentar