Membasuh (Cerita Pendek)

 

BYURR...BYURR..BYURRR 

Hampir satu bak air penuh ini kuhabiskan. Membasuh seluruh badanku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kupikir ini jalan satu-satunya untuk membersihkan diri yang terlanjur kotor ini. Aku percaya bahwa air-air yang mengalir disekujur tubuhku membawa pergi kotoran itu. Namun, ternyata tidak. 

Aku tinggal bersama emak. Omelannya adalah menu wajib bagiku. Kata-katanya yang pedas, seringkali buat kupingku panas. Namun, mau bagaimana lagi? Dia orang yang menghidupiku sejak bayi. Aku tahu omelannya tak lain untuk kebaikanku sendiri. Kau tak perlu tanya ke mana bapakku pergi. Aku pun tidak tahu dia siapa. Hanya aku dan emak hidup di sini untuk saling melengkapi. 

Duniaku tidak jelas. Hidupku bagai angin yang tak tahu arah. Bahkan seperti benalu, yang hanya menempel di badan emak. Tidak sekolah, tidak berpenghasilan, dan hanya tau makan, tidur, mandi, dan buang hajat. Kau bisa melihat betapa tidak berguna hidup si  Zubaedah Nur Hayati ini. 

Orang-orang sering memanggilku Nur. Walaupun aku seperti benalu, perlu kuakui bahwa wajahku cantik dan menarik. Beberapa kali anak tetangga datang melamarku. Namun semua kutolak mentah-mentah. Aku ingin berjodoh dengan orang kaya. Aku ingin merubah nasibku dan emak yang biasa-biasa ini menjadi luar biasa. Aku sadar tidak memiliki keahlian apapun untuk bekerja. Dan yang aku punya hanyalah wajah cantikku ini. Apalagi yang bisa kulakukan untuk menjadi kaya selain menjadi istri orang kaya? 

Sore itu emak hendak pergi ke masjid. Emakku adalah orang yang taat agama. Namun entah mengapa aku tidak seperti dia. Di saat orang lain berbondong-bondong ke masjid untuk beribadah, aku hanya duduk di rumah dan bermalas-malasan. Terkadang, aku pergi keluar bersama teman-temanku yang sama tidak bergunanya sepertiku. 

Aku bertemu dengan seorang pria di salah satu warung saat sedang makan bersama temanku. Pria itu berpakaian rapi lengkap dengan dasi dan papan nama di dadanya. Sepertinya ia adalah pegawai di kantor depan warung itu. Kecantikkanku memang sayang untuk dilewatkan. Sedari tadi pria itu melirik-lirik ke arahku. Aku tau dia tertarik padaku. Namun, aku tetap jual mahal meskipun kuakui wajah pria itu cukup tampan. 

Benar saja, pria itu mengajakku berkenalan. Ia meminta nomor teleponku. Aku tertawa. Jangankan nomor telepon, gawai saja aku tidak punya. Aku hanya bisa memberinya alamat rumahku. Semenjak itu, kami sering pergi bersama. Ia menjemputku di rumah. Emak tahu tentang hubunganku dengannya. Sejak awal hubungan ini tidak direstui oleh emak. Namun, aku adalah aku dengan segala keras kepalaku ini. 

Dia mengajakku keliling kota. Makan sederhana di warung-warung pinggir jalan. Menjajal berbagai macam permainan di pasar malam. Atau hanya sekedar duduk di pinggir jembatan menikmati lalu lalang kendaraan di jalanan. 

Aku yang sudah bodoh ini menjadi tambah bodoh mengenal cinta yang membutakan segalanya. Apa yang kekasihku inginkan akan kuberikan. Pernah sekali ia meminta sebuah jam tangan yang cukup mahal harganya bagiku. Aku berusaha meminta uang ke emak untuk mengabulkan keinginan kekasihku. Hingga di hari ulang tahunnya, jam tangan itu menjadi kado untuknya. Bukannya berterima kasih, ia malah meminta lebih. Nafsu itu memenuhinya. Aku tahu apa yang ia inginkan dariku. Dan terjadilah semuanya di kamar kumuh dan gelap itu. 

Aku bangun dihantui ketakutan. Tubuhku pegal tak karuan pasca diganyang olehnya. Pikiranku kacau, perubahan terjadi pada diriku. Rasa bersalahku muncul karena hal bodoh ini. Apa yang akan terjadi bila emak mengetahui semua ini? Apakah aku akan mati ditangannya? 

Dia mengantarku pulang. Sikapnya berubah, ia menjadi sangat cuek. Biasanya ia akan menciumku sesaat setelah aku turun dari motornya itu. Namun kali ini tidak. Ia langsung pergi begitu saja. Aku bahkan tidak peduli bila ia pergi meninggalkanku selamanya. Dipikiranku hanya ada pertanyaan, bagaimana agar tubuhku bersih kembali? 

Aku berjalan masuk ke dalam rumah. Tak kulihat emak di sana. Barangkali ia sedang mengaji bersama para tetangga. Aku terus berjalan menuju kamar mandi. Kutanggalkan semua pakaianku. Kusiram seluruh badanku dengan air yang dingin ini. Aku menggigil tapi aku tak peduli itu. Aku terus mengguyur badanku sampai hampir habis satu bak air ini. 

"Nur" 

Emak memanggilku dari luar kamar mandi. Suara itu membuyarkan pikiranku yang tak karuan. Aku membuka pintu, menatap mata emakku yang telah renta itu. Ia tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Emak memelukku dan menangis. 

"Kau kenapa, Nur?"

"Mak"

"Kenapa?"

"Apa yang akan kau lakukan padaku setelah tahu akan hal ini?"

"Hal apa?"

"Tubuhku telah kotor, Mak"

"Apa yang kau maksud?"

"Pria itu telah merusak tubuhku" 

Emak terdiam dan tangisannya semakin menjadi. Ia memelukku erat. Sejak satu jam yang lalu ia telah kembali ke rumah. Ia menantikanku di depan kamar mandi. Emak bingung lantaran mandiku tak kunjung usai. Padahal aku sangat benci jika disuruh mandi oleh emak. Itulah yang menjadi kunci, emak mengetahui bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. 

"Apa yang kau lakukan di kamar mandi selama itu, Nur?" tanya emak sembari mengusap air mata di pipiku 

"Aku mencoba membasuh tubuhku yang sudah terlanjur kotor ini, Mak. Maaf jika kuhabiskan airmu itu"

"Tidak, Nak, tidak. Kau tidak bisa membersihkan tubuhmu seperti semula. Tetapi kau bisa menjadikan dirimu lebih bersih dari sebelumnya"

"Bagaimana caranya?"

"Kemarilah" 

Emak menuntunku ke kamar. Ia memakaikan pakaian yang bersih dan harum itu padaku. Kemudian, ia memberiku seperangkat mukenah dan sajadah. 

"Pakailah ini, Nak. Pergilah ke sana. Ke tempat emak dan orang-orang biasanya beribadah. Pergilah ke masjid dan basuhlah jiwamu di sana. Mintalah ampunan dari Yang Maha Kuasa. Bertaubatlah. Sebagai ibumu, emak sudah memaafkan segala kesalahanmu. Pergilah, Nak sebelum terlambat."


Komentar