Srimedhi (Cerita Pendek)

Terik sekali panas matahari siang itu. Aku menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai tepat di belakang rumahku. Langkahku terhenti dan pandanganku terpaku pada satu objek yang timbul perlahan dari kolam ikan milik tetanggaku. Rasa penasaran terus menghantui dan akhirnya mengantarku mendekat pada objek itu. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan langkahku kembali berhenti. Gumpalan rambut sebesar baskom itu muncul ke permukaan air dengan perlahan. Mulutku tetap terbungkam walaupun ingin sekali rasanya berteriak sekencang-kencangnya.

***

Aku Karmila, lahir dan hidup di desa yang jauh dari hingar-bingar perkotaan. Mungkin omongan tetangga adalah hingar-bingar tersendiri yang tak luput menjadi makanan sehari-hari kehidupan di desa. Kemarin Bu Raharjo, istri Kepala Desa baru saja membeli kulkas baru. Kabar tersebut dengan cepatnya menyebar ke seluruh desa. Hanya dengan membeli satu buah kulkas, kau bisa terkenal dan menjadi buah bibir serta topik perbincangan hangat satu desa. 

Kuperkenalkan kau dengan Yuk Sri. Beliau adalah dedengkot lambe turah di desa ini. Kau ingin tahu berita terbaru? Kau ingin tahu gosip perselingkuhan Kepala Desa dengan seorang janda desa sebelah? Atau, kau ingin tahu kisah-kisah lainnya tentang desa ini? Yuk Sri akan menjawab semua keingintahuanmu.

Yuk Sri merupakan seorang ibu rumah tangga yang memiliki cukup banyak waktu luang di rumahnya. Suaminya bernama Pak Bambang yang bekerja sebagai supir truk. Yuk Sri dan Pak Bambang dikaruniai seorang putri bernama Gendhis. Seorang gadis cantik, berkulit putih, berhidung mancung, badan semampai, dan berprestasi. Wajah ayunya memang keturunan dari sang ibu yang notabene seorang kembang desa pada zamannya. Digadang-gadang, Gendhis akan menjadi kembang desa selanjutnya. 

Aku dan Gendhis bersekolah di satu tempat yang sama. Sebenarnya, aku sangat ingin menjadi teman Gendhis. Tapi apa daya? Aku memang tak berparas ayu dan bukan dari keluarga yang cukup beruntung sepertinya. Aku bahkan sering menjadi bulan-bulanan warga desa karena rupaku ini. Mungkin keinginanku untuk berteman dengan Gendhis adalah mimpi semata. Aku juga sudah terbayang wajah garang Yuk Sri bila melihat putri semata wayangnya berteman denganku.

Waktu itu, aku sama sekali tidak memiliki teman. Orang-orang di desa melarang anak-anaknya untuk berkawan denganku. Entahlah apa yang ada dipikiran mereka tentangku. Apakah aku begitu buruk bagi mereka?

Sepulang sekolah aku hanya bisa bermain di sungai kecil belakang rumahku. Aku membuat sebuah getek kecil berbahan dasar gedebog pisang yang kudapatkan di halaman rumah Lek Jamal. Setelah membuat getek, akupun mulai bermain perahu-perahuan seorang diri. Di tengah asyiknya bermain, muncul seorang gadis cantik. Gendhis datang menghampiriku dengan membawa es janggelan di tangannya.

"Awakmu lagi lapoan, Mil?"
"Dolanan banyu"
"Aku oleh melu ra?"
"Oleh, tapi emange awakmu ra wedi diseneni ibukmu?"
"Alah, lek diseneni yo dirungokne"

Aku dan Gendhis akhirnya bermain perahu bersama. Kulihat raut wajah Gendhis begitu sumringah bermain air di sini. Mungkin ia sudah lelah dikurung oleh ibunya di rumah. Yuk Sri tidak akan membiarkan anaknya lecet sedikitpun. Dipikiranku hanyalah raut wajah Yuk Sri yang menakutkan ketika ia marah setelah mengetahui Gendhis bermain di sungai yang banyak bebatuannya ini. Benar saja, baru 2 menit aku membatin, hal buruk itu terjadi. Kaki Gendhis tergores batu sungai. Namun, ia terlihat tenang dan tidak mempermasalahkannya. 

Selepas bermain, aku dan Gendhis berjalan bersama untuk pulang ke rumah. Rumah kami memang berdekatan dan satu arah. Singkatnya, tibalah kami di depan rumah Gendhis. Yuk Sri yang sedang asyik berceloteh dengan ibu-ibu lainnya kemudian menghampiri aku dan Gendhis. Matanya sangat jeli melihat kondisi putrinya dari atas sampai bawah. Raut wajah yang sedari tadi aku takutkan muncul saat Yuk Sri melihat goresan di kaki Gendhis. Nyaliku seketika ciut dan takut menatap wajah Yuk Sri. Beliau memakiku sebagai anak nakal dan kurang ajar. Aku terus disalahkan karena goresan di kaki putrinya. Sementara Gendhis hanya diam membisu tanpa membela sedikitpun. 

Aku akhirnya melanjutkan perjalananku pulang ke rumah dengan membendung air mata yang ingin segera jatuh ini. Si Mbuk yang sedang duduk sambil memotong tempe di emperan menatapku dengan bingung. Beliau kemudian menghampiriku dengan penuh kekhawatiran.

"Kowe lapo, Nduk?"
"Mboten nopo-nopo, Mbuk"
"Wes to, Nduk, cerito wae. Si Mbuk iki ibumu."

Si Mbuk terus memaksaku dan akhirnya akupun menceritakan semuanya. Namun, si Mbuk hanya bisa menenangkanku dan menguatkanku. Hati Mbuk sakit melihat anaknya mendapat perlakuan yang kurang baik dari orang lain. Meskipun begitu, Mbuk tidak akan membalas untuk mencaci maki Yuk Sri. Mbuk bukanlah orang yang seperti itu. Dahulu, Yuk Sri juga pernah mencaci maki si Mbuk karena mengambil sebuah mangga yang jatuh di pekarangan rumahnya. Selain terkenal sebagai lambe turah, Yuk Sri juga terkenal sebagai orang paling kikir di desa. Tidak hanya si Mbuk dan aku saja yang dicaci maki olehnya. Pak Warto yang pernah meminta sejumput garam saja sudah dianggap sebagai tetangga yang tak tahu malu oleh Yuk Sri. Sungguh, perlakuannya memang sering melukai hati orang lain. Tapi apa yang bisa diperbuat? Beliau tetaplah Yuk Sri.

***

Kala itu, Yuk Sri dan Pak Bambang menanggap orkes di pekarangan rumahnya untuk memeriahkan acara pembukaan kolam pemancingan miliknya. Warga desa banyak berkumpul di sana. Ada yang asyik bergoyang dengan biduan. Bahkan, yang bertengkar di tengah dangdutan karena kepergok sedang nyawer oleh sang istri juga ada. Acara itu begitu meriah. Namun, aku sama sekali tidak berani mendekat, apalagi masuk ke wilayah rumah Yuk Sri. Rasa trauma itu masih membekas di hati dan pikiranku.

Dua jam suara orkesan itu menggema di desa, namun seketika berhenti. Aku pun penasaran dan memutuskan keluar rumah. Tiba-tiba kudengar pengumuman di langgar yang menyiarkan tentang seseorang yang berpulang. Aku sangat terkejut mendengar nama Yuk Sri yang disebutkan.

Kudengar dari cerita warga yang sudah lebih dulu mengetahui kejadian itu, Yuk Sri terpeleset dan jatuh ke dalam kolam ikan pemancingannya. Beliau tidak bisa berenang, sementara orang-orang sibuk dengan orkes yang masih berdendang. Pada akhirnya, Pak Bambang dan Gendhis harus menerima kenyataan bahwa Yuk Sri telah berpulang. 

Suka cita dengan cepatnya berganti menjadi duka. Memang kita tidak ada yang tahu kapan akan berpulang. Bisa saja hari ini, besok, lusa, atau waktu lainnya. Untuk itu, yang hanya bisa kita lakukan adalah mengumpulkan amal baik sebagai bekal nanti.

***

Aku masih dihantui rasa ketakutan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Penampakan gumpalan rambut itu terus terputar di otakku. Keringat dingin membasahi tubuh ini. Aku berjalan menuju pulang ke rumah dengan perasaan yang tidak karuan. Sesampainya di depan rumah, warga rupanya sedang berkumpul. Tampaknya mereka sedang membicarakan satu hal. Kudengar sayup-sayup, tadi siang banyak warga yang melihat suatu benda yang tidak tahu jelasnya apa terjatuh di kolam ikan Yuk Sri. Lagi-lagi aku dibuat kaget. Rupanya gumpalan rambut yang kutemui masih berkorelasi dengan penampakan benda yang dilihat warga.

Bu Marini ikut memasuki ruang perbincangan warga. Beliau ikut bercerita tentang kejadian aneh yang dialaminya selepas berpulangnya Yuk Sri. Siang itu, Bu Marini sedang mencuci baju di kamar mandi samping rumahnya. Kebetulan rumah Bu Marini tepat di samping rumah Yuk Sri. Saat tengah asyik mencuci, ternyata air di rumah Bu Marini macet dan tidak mengalir. Dengan terpaksa ia akhirnya memberanikan diri untuk meminta air dari keran rumah Yuk Sri. Tiba-tiba air dalam ember itu tumpah ruah dan terguncang hebat layaknya sedang terkena gempa. Bu Marini begitu ketakutan dan lari tunggang langgang. Bulu kuduk warga yang mendengarkan cerita Bu Marini kompak berdiri. Perbincangan warga tersebut akhirnya ditutup dengan mendoakan Yuk Sri supaya tenang di alam sana.

Komentar